Astagfirullah, Tak Miliki Identitas Kependudukan, Satu Keluarga Diusir Enam Kali, Dua Anaknya Putus Sekolah

Viral Tujuh - Perlakuan tragis menimpa Keluarga Heru Budi Setiawan (41), asal Dusun Mongkrong, Desa Winong, Kalidawir, Tulungagung, gara-gara keluarganya tidak mempunyai identitas kependudukan.




Awalnya, pria yang lahir di Blitar itu semasa kecilnya diajak kedua orang tuanya ke Jaya Murni SP 7 Menggala C Gunung Agung, Tulang Bawang Barat, Lampung. “Sejak itu saya hidup di sana. Namun sejak kelas 5 SDN atau sekitar tahun 1989 dipindah lagi ke Jawa Timur, yaitu di Kelurahan Sukorejo, Sutojayan, Blitar. Saya ikut pakde saya bernama Supon,” kata Budi.

Sejak itu Budi hidup di Jawa dan baru membuat dokumen tahun 2005 untuk syarat dirinya menikah dengan seorang wanita asal Palembang yang bernama Lesiyanti (29), warga Perumahan Jakabaring. “Persyaratan berupa KTP itu hanya saya gunakan menikah. Setelah menikah, kami kembali ke unit 2 Banjar Agung, Tulang Bawang, Lampung,” ungkapnya. Sejak itulah, dirinya hidup berpindah-pindah untuk berjuang menghidupi keluarganya karena mempunyai dua anak.

Ibu kandung Budi, yaitu Sriatun, meninggal tahun 2013 di Madura di rumah kakak kandung yang berbeda bapak. “Sejak ibu saya meninggal, kependudukan saya seakan putus. Saya cek ke tempat asal saya di Lampung, nama saya sudah dicoret dan dikatakan saya bukan warga di sana,” kata Budi.

Karena tidak mempunyai tempat tinggal lagi, keluarga Budi pergi ke Dusun Baran, Desa Banyuurip, guna mencari keluarga dari ibunya yang memang asli warga Baran. “Jika tak salah, bulan 9 tahun 2013 saya ke Baran dan disambut baik sehingga saya tinggal di sana dengan rumah sederhana. Bahkan tahun 2015 saya merantau ke Malaysia dengan dokumen dikuatkan oleh tekong. Namun beberapa bulan di sana, saya gagal karena tertangkap polisi. Saya memutuskan pulang,” paparnya.

Kegagalan merantau dan tidak menghasilkan uang itulah yang diduga Budi membuat karakter keluarga di
Baran berubah. Dirinya mengaku beberapa kali diusir. Bahkan rumahnya sering dilempari batu hingga akhirnya dirinya tidak kerasan lagi. “Karena saya miskin, tidak punya harta apa pun, saya di usir. Untung saya ketemu orang yang baik hati bernama Pak Talim di Dusun Mongkrong ini,” tambahnya.

Pertama datang, Budi mengaku di sambut baik RT dan pamong Dusun Mongkrong. Dirinya memberikan paspor kepada perangkat desa untuk identitas sementara. Namun karena sadar bahwa paspor itu didapatkan dengan cara yang ilegal dan tidak jelas, dirinya takut dan membakar semua dokumen, termasuk buku nikah yang dia miliki. “Saya takut dan dokumen saya bakar, termasuk buku nikah. Saya khilaf,” akunya.

Sejak itulah dirinya selalu diminta identitas keluarga yang sebenarnya pamong sudah tahu tidak dia miliki. “Saya didesak dan bahkan diusir beberapa kali. Alasannya macam-macam. Termasuk warga takut jika saya teroris,” ucapnya dengan nada sedih.

Pengusiran dilakukan sekitar enam kali. Budi juga beberapa kali didatangi petugas polsek hingga dipanggil ke balai desa untuk mengurus dokumen kependudukan. Namun dirinya bingung bagaimana cara mengurus sementara dirinya hidup berpindah dan tidak diakui lagi dari daerah asalnya.

“Surat pernyataan akan habis bulan Desember ini. Saya sudah pasrah dengan kondisi ini. Jika memang saya diusir lagi, silakan saya rela ditembak bersama keluarga kami agar kami tidak dianggap meresahkan,” keluhnya.

Selain berujung pengusiran, hal lain yang menjadi akibat dari masalah kependudukan itu adalah kedua anaknya. Anggraeni Dewi Setiawan (12) yang seharusnya kelas 1 SMP harus putus sekolah. Sedangkan adiknya, Anggraeni Putri Setiawan (10) yang harusnya kelas 5 SD juga harus berhenti dari sekolah. “Karena sekolah juga tidak bisa memberi identitas kesiswaan pada anak kami sebelum ada identitas jelas, maka anak kami berhenti sekolah,” ujarnya.

Sementara, Dewi -anak pertama keluarga Budi- mengaku masih mau sekolah. Dia malah senang jika harus sekolah lagi. “Saya hanya bantu menjaga toko ini. Jika memang suruh sekolah lagi, saya mau,” katanya polos.

Keluarga Budi tinggal di rumah dengan dinding asbes dan membuka usaha toko kecil. Rumah sederhana tersebut berada bukan di lahan sendiri dan dibangun dari uang terakhir yang dia miliki sebesar Rp 25 juta setelah diusir keluarganya di Baran, Banyuurip, Kalidawir.

Sumber (jatimtimes.com)

Share :
close