Bergelut dengan 'Balancing Art', Seni 'Mistis' Menumpuk Batu


Batu-batu itu ditumpuk membentuk menara. Botol-botol juga ditata sampai menjulang. Orang-orang yang terkejut menyangka itu adalah fenomena supernatural. Seperti yang terjadi di sebuah desa di Sukabumi, Jawa Barat beberapa waktu lalu.

Masyarakat desa itu melihat setumpuk batu yang ditata rapi di tepi sungai. Dengan mudah mereka kemudian menyimpulkan, itu hasil dari ritual dan meditasi. Batu yang sejatinya merupakan karya seni itu lantas dihancurkan karena masyarakat resah.

Internet pun ikut heboh.

Padahal jika mau belajar, tanpa perlu meditasi atau memakai jalur supernatural sekali pun, masyarakat pedesaan biasa juga bisa melakukannya. Tumpukan batu yang menjulang sempurna itu adalah hasil komunitas balancing art atau seni keseimbangan.

Heru Hendaran sebagai salah satu anggota komunitas itu menegaskan seni keseimbangan tidak ada kaitannya dengan sihir maupun mistis. Warga desa Lembang, Bandung Barat itu sudah belajar menumpuk batu atau botol selama dua tahun terakhir.

Pertama belajar, ia mencoba menumpuk batu dengan berbagai bentuk dan ukuran di sungai.

“Tidak langsung bisa ya, dua sampai tiga jam, itu diulang-ulang terus,” katanya saat ditemui CNNIndonesia.com pada Senin (5/2).

Kata Heru, seni keseimbangan memang awalnya fokus pada medium batu. Baru seiring perkembangan, mereka yang mencari tantangan ‘melampiaskan’ hobinya pada medium lain seperti botol, koin, korek, dan bolpoin. Jika benda-benda itu berhasil ‘ditaklukkan,’ seni keseimbangan bisa dilakukan di mana saja.

Heru sendiri lebih suka melakukannya di gunung atau tempat wisata alam lain. Beruntung ia tinggal di Bandung, yang punya banyak lokasi wisata alam. Sembari menata batu atau botol, ia bisa rileks menikmati pemandangan yang indah.


Dari batu, seni keseimbangan berkembang ke media lain seperti botol, korek, sampai bolpoin.Dari batu, seni keseimbangan berkembang ke media lain seperti botol, korek, sampai bolpoin. (CNN Indonesia/Huyugo)
Dua tahun menggeluti seni itu, Heru yang sehari-harinya bekerja sebagai penjual produk pembersih mengaku teknik pernapasannya jadi terlatih. “Dalam balancing art ini kesabaran sangat diperlukan. Sewaktu saya belajar tidak berhasil, gagal dan coba lagi,” ujarnya.

Menyusun benda secara vertikal, apalagi bentuknya tak sama, memang tak mudah. Namun itu bukan ‘mission impossible.’ Asal sabar, fokus, tenang, dan bisa mengatur napas dengan baik, dengan latihan teratur itu bukan lagi hal yang mustahil.

“Napas harus tenang, pikiran juga harus tenang. Kalau lagi galau, susah. Pasti gagal.”

Selain itu, pria 37 tahun yang tergabung dalam komunitas Balancing Art Indonesia menambahkan, perlu dipahami juga karakter benda yang ingin ditumpuk. Apakah itu kasar, halus, besar, kecil, lancip, atau tumpul.

“Terkadang bukan soal lamanya menyusun tapi saat memilih karakter misal pada batu. Itu malah butuh waktu lebih lama,” ia mengatakan. Sejauh ini, sudah ada beberapa orang yang heran dan kagum, lalu meminta diajari melakukannya.

Dilihatnya seni keseimbangan sebagai sesuatu yang mistis dianggap Heru bagaikan lukisan yang terkadang juga menguarkan aura khusus. “Ibaratnya begini. Ada pelukis membuat hasil karya lukisan berupa orang yang sudah meninggal. Buat yang melihat bisa saja menilai mistis, tapi untuk pelukis sendiri hanya membuat seni," kata Heru.

Napas harus tenang, pikiran juga harus tenang. Kalau lagi galau, susah. Pasti gagal.
Heru, pelaku seni keseimbangan
Tisna Sanjaya, dosen Fakultas Seni dan Desain (FSRD) ITB menanggapi, seni keseimbangan hanya merupakan salah satu cara menyampaikan pesan dengan kebebasan berekspresi.

“Jadi seni bahan batu alam tersebut seni instalasi partisipatori. Lewat seni, mereka mampu menyampaikan spirit, daya kritis yang peduli pada lingkungan hidup," ia menjelaskan.

Dengan semakin berkembangnya seni keseimbangan di Indonesia, komunitas yang mewadahinya pun menjamur. Dua di antaranya sudah eksis cukup lama: Balancing Art Indonesia dan Rock Balancing Indonesia. Balancing Art Indonesia misalnya, sudah ada sejak delapan tahun lalu.

“Awal dibentuknya dari anak-anak Jogja," Heru bercerita. (hyg/rsa)


Sumber: cnnindonesia.com

Share :
close